Kamis, 28 Januari 2010

Aku hanyalah sebutir pasir
Yang meminta diangkat oleh tanganmu
Ku diam menatap ombak yang datang
Tanpa ku tau kapan waktu membawaku ..
Saat ku terluka aku hanya tersenyum,
dalam sedihku aku hanya tertawa ..
Aku hanya tertawa sendiri ..
Haruskah aku merasa sendiri ..?
Saat semua ada bersamaku ..
Memang aku telah terbiasa sendiri ...
Tapii sampai kpaan Tuhan ..???

Masih CInta Yang Dulu ..

tergores luka baru ..
mengingat kembali luka lama
entah untuk apa dan mengapa,,
aku menangis saat tau hubungan kalian..

aku kecewa, serpihan hatiku memberontak dan mencoba menerjang...
mencari jejak yang masih bisa kutapaki ..
meninggalkan bekas pada hati yang telah kusakiti..
ingin ku berlari dan gapai bahagiaku..
tapi memori itu menahanku hingga ku tak mampu bangkit..
terpuruk dalam kehancuran dan sakit hati yang mungkin takkan pernah hilang..

aku tau aku menyakiti dia yang telah bersamaku kini..
menempelkan satu kepedihan di hatinya yang begitu tulus menerimaku..
namun apa daya, ini aku dan kisah masa laluku..
masa lalu yang mungkin akan terus ada dalam masa depanku..

inginku ambil kembali tawa dan candanya .
merangkulnya dalam sebuah kasih sayang seperti dulu..
walau mustahil dan harus kuperjuangkan dengan hati yang hancur..
tapi akan kupersembahkan serpihan hati terakhirku untukmu..

maavkan aku kekasihku, aku mencintaimu dan sangat menyayangi dirinya..
aku tak bisa memilih dan menentukan pemilik hatiku..
karena bila aku jujur ,,
aku tau dia yang menempati tempat paling istimewa dalam kehidupanku..

Selasa, 12 Januari 2010

Cinta Baru

awal yang baru coba kutapaki..
setiap tawa yang menyambutku
membuatku terlepas dari rasa bersalah
setiap senyum yang tergores diwajahmu ..
menghapus tawanya yang terukir di anganku ..

salahkah bila ku coba gapai bahagiaku?
melepas semua kenangan indah dengannya?
atau haruskah ku terus terpuruk dalam penyesalan ,,
yang sedikit demi sedikit membawaku pada kehancuran?

tapi aku tak ingin diam meratapi semuanya ..
apa aku telah menghianatinya?
atau mungkin aku telah mengecewakannya?
tapi bukankah ia sudah terlebih dahulu mengecewakanku?
ketika ia membuka hatinya untuk orang lain ..

aku tau tak semudah itu aku dapat melupakannya
karena mungkin ia teramad berharga untuk ku lupa
tapi aku berjanji tak akan mengecewakan Cinta Baruku
karena dengannya kudapat tawa yang selama ini pergi dariku..
akan kusimpan dia dan semua kenangannya ..
dan kuberikan sepenuhnya hatiku hanya untukmu ..
:))

Senin, 11 Januari 2010

CerPend .^^ haha .

Matahari bersinar cerah di luar sana pagi ini. Hal yang sangat jarang terjadi di Bandung pada pagi hari, musim kemarau sekalipun. Entah kenapa matahari mau menampakan dirinya untuk memberitanda bahwa pagi telah datang hari ini. Dengan mata yang masih menutup, Veii berusaha turun dari tempat tidurnya. Mencoba mencari tangga yang biasanya ada di samping tempat tidurnya, namun kali ini ia tidak menemukannya.
Rumah Veii tidak terlalu besar—malah boleh dibilang sangat kecil—dengan hanya dua kamar tidur dan 1 kamar mandi. Rumah ini lebih layak disebut Ruko—rumah-toko—karena di lantai bawah khusus dipakai untuk berjualan kedua orangtuanya. Mereka membuka rumah makan kecil-kecilan yang menyediakan bakmi, kwetiau, nasi goreng,Juan Lo, capcay, dan masih banyak lagi nama aneh dari makanan-makanan itu.
Kamar Vei sendiri hanya satu ruangan yang mengisi bagian pojok rumah lantai atas. Di ruangan itu hanya ada dua tempat tidur dari kayu dan didesain untuk dua orang anak. Satu ranjang diletakkan di atas ranjang laiinya dengan tangga sebagai alat bantu untuk naik ke atas. Biasanya ranjang seperti ini digunakan untuk menghemat tempat. Selain ranjang, hanya ada satu lemari, dan dua rak buku kecil yang diletakkan di pojok kamar.
Ranjang pertama, ditempati oleh Veii, sedang yang satunya lagi oleh Vio, kakak Veii. Ranjang Veii yang diletakkan di atas, sesuai perminttaan Veii sendiri. Veii selalu ingin lebih dari kakaknya, satu-satunya yang tidak dapat disaingi oleh Veii adalah sifat sdikit tomboy dan acuh yang dimiliki kakaknya itu. Vio adalah anak pertama di keluarga ini, anak perempuan pertama yang sangat tidak suka melakukan aktifitas yang pada umumnya di sukai oleh para kaum hawa. Vio sangat benci dandan dan sangat tidak suka belanja. Ayah dan ibu mereka tak pernah mempersoalkannya. Vio punya hobi yang membuatnya terkenal di sekolah, dia adalah salah satu pemain terbaik basket putri yang dimiliki sekolahnya saat ini. Vio sudah menyumbang beberapa piala yang sekarang berjejer di ruang piket di sekolahnya.
Berbeda dengan Veii, yang sangat peduli pada lingkungannya. Bahkan Veii dikenal sebagai salah satu anak yang direkomendasikan sebagai duta lingkungan hidup di sekolahnya. Veii juga punya rasa kemanusiaan yang cukup tinggi untuk anak-anak seusianya.
“aduch .!” pekik Veii.
Bukannya turun dari tangga kakinya malah terbentur lantai. Dia meringis kesakitan. Matanya terpaksa terbuka untuk melihat perubahan yang terjadi di kamarnya. Biasanya sambil tertidur pun Veii bisa menuruni kamar dan berjalan mencari handuk dan kamar mandi tanpa jatuh.
Meski matanya belum dapat berfungsi dengan normal, akibat sinar matahari dan rasa kantuk yang menyerangnya, Veii tau dia tidak berada di kamar tidurnya. Disana juga tidak ada Vio, yang biasanya akan berebut kamar mandi dengannya. Kamar ini sedikit lebih luas dari kamar Vei dan Vio yang dulu. Dinding kamar ini dicat dengan warna ping—warna yang tidak Veii suka—dengan beberapa gambar animasi kecil di beberapa bagian. Kamar tidur yang baru ditempatinyapun bernaunsa ping, dan boleh dibilang sangat kekanak-kanakan. Dan memang sepertinya ini kamar anak-anak. Tapi kenapa dia bisa ada disini? Dimana Vio? Dimana Mom? Dimana Dad? Dimana Vrans?
Veii berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan ingatannya yang berpisah bagai puzzle. Dia ingat betul kemarin malam dia masih tidur di ranjang kayu dengan kasur dan seprai berwarna putih tanpa selimut yang ada disini. Kamarnya pun tanpa AC yang sekarang bertengger di dinding. Tanpa lemari besar yang sekarang ada di dekat pintu. Televisi yang diletakkan di samping computer, di meja di sebelah meja belajar.
Sekarang ia benar-benar yakin sedang berada di kamar yang salah. Veii berjalan pelan ke arah pintu, mungkin lebih tepatnya ke arah lemari di samping pintu. Dengan tangan yang menolak perintah otak untuk membuka lemari, Veii akhirnya membukanya sangat pelan, seolah-olah jika terlalu keras, akan ada bom yang meletus. Sebelum lemari benar-benar terbuka, Vei celingukan mencari kalau-kalau ada orang yang sedang bersembunyi. Siapa tahu nanti ketika ia sedang membuka lemari, ada orang yang meneriakinya maling, kan ga lucu.
Lemari itu hanya berisi pakaian, pakaian untuk anak sesusianya mungkin, sangat feminim untuk digunakan Veii. Vio pasti ga mau pake baju kaya gini, pikir Veii. Sambil cekikikan Veii mengambil salah satu baju. Baju itu berbentuk gaun, berwarna hitam. Jika dipakai Veii, panjangnya hanya sampai selutut. Veii melihat dirinya sendiri di cermin dengan baju itu—tanppa memakainya—menempel pada tubuhnya.
Lagi-lagi Veii tersenyum. Tiba-tiba pintu terbuka. Tanpa disadari baju yang dipegangnya dilempar ke kasur. Sekarang muka Veii sudah pucat pasi, ia tidak tahu harus bilang apa kalau nanti tuan rumah—siapa pun orangnya—menanyainya kenapa dia bias sampai disini. Alasan apa yang dapat dibuatnya dalam waktu dua menit? Bahkan dia sendiri pun tidak tahu ini dimana dan bagaimana bisa dia berada disini.
“sudah bangun Veii?” Tanya seorang yang membuka pintu tadi, dan ternyata dia laki-laki.
“Mandi dulu sana .. habis itu baru turun untuk makan.” Kata laki-laki itu lagi sambil tersenyum.
“Aneh .!” desis Veii pelan, ketika orang itu sudah pergi.
“ga marah ! ga nanya dari mana guw .! ga nanya kenapa guw ada disini! dari mana dia tau nama gue? Wachh … jangan-jangan tu orang agen penjualan anak-anak diabawah umur.! Trus baju-baju di lemari itu baju yang kita pake waktu mau ngelayanin om-om ..! akkkhh gga mao guw .! pokoknya guw harus bisa kabur sebelum tthu orank nyerahin guw ke laki-laki yang idungnya belang!” pikir Veii melantur. Itulah akibatnya kalau sering menonton berita-berita criminal di televisi.
Veii mengambil handuk yang berada di Balkon. Lalu masuk ke kamar mandi yang berada di kamar itu. Selama di kamar mandi yang dipikirkan Veii adalah bagaimana cara kabur dari om-om yang mungkin—menurut pemikirannya—akan membawanya ke laki-laki yang idungnya belang. Saat ini Veii baru berusia 11 tahun. Dan sekarang adalah masa liburan yang seharusnya Veii maksimalkan untuk belajar menghadapi soal tes masuk SMP setelah lulus Sekolah Dasar beberapa minggu yang lalu.
*Kalau sampe di bawah ada banyak om-om, yang pertama harus Veii lakuin tu cari benda keras. Kata Bu Nisa—salah satu guru di SD Veii—memukul orang dengan benda keras pada bagian kepala merupakan hal yang tidak baik dan sangat berbahaya. Tapi pasti Bu Nisa malah senang kalau Veii bisa mukul om-om yang idungnya belang. Hehe. Abis itu Veii harus berusaha nyari pintu atau jendela, kata ci Vio, kalau mau lompat jendela, harus nutup mata, bayangin kamu lagi ada di surga, dan mama-papa ada di bawah sana, anggap kamu mau jemput mereka ke Surga bareng-bareng sama kamu. Pasti rasanya ga sakit. Haha. Ada untungnya juga aku dengerin semua celotehannya Ci Vio, nanti kalau aku masuk berita di televisi, aku pasti akan nyebut nama Ci Vio sebagai salah satu orang yang berjasa di balik kesuksesan Vei menghabisi para penculik anak-anak di bawah umur. Haha .*
Kata Veii dalam hati. Pikirannya sudah terbang sangat jauh, sampai-sampai ia tidak menyadari sudah hampir setengah jam di dalam kamar mandi.
“Veii cepet! Nanti pesawatnya keburu berangkat!” kata suara di luar.
Suaranya beda dari suara om-om yang masuk kamar Veii tadi. Pasti itu istrinya, kata Veii dalam hati. Yaamppun, tega banget suami-istri kompakan ngejualin anak-anak di bawah umur, mereka ga mikir apa, gimana seandainya kalau anak mereka yang dijual. Pantesan rumahnya bagus kaya gini. Pasti keluarga ini udah jual banyak anak, makanya mereka kaya,
Ttunggu dech, bandara? Mereka mau bawa Veii ke bandara? Yaamppun, ini pasti beneran penculikan, Veii mau dijual ke luar negeri, ato paling gga luar pulau jawa, o mama apa yang harus Veii lakuin? Veii takut, coba disini ada Ci Vio, pasti Ci Vio bisa cari jalan keluar, walaupun pasti jalan keluarnya nekat, gga ppa* ddech. Otak Veii udda buttek nie, ga bisa mikir jalan keluar. Boro-boro mikir, cari cara supaya tetep idup jah Veii ga bisa.
“Veii ceped!” kata suara perempuan lagi.
“Iaaa…” teriak Veii spontan, padahal sebenarnya dia mau menyimpan suaranya, kalau-kalau nanti diperlukan dalam rangka kabur.
Veii segera berpakaian, sengaja dia hanya memakai kaos dan celana pendek selutut. Mudah-mudahan ini bisa mengulur-ulur waktu keberangkatan, dan siapa tahu, pesawat yang mau mereka tumpangi udah berangkat sebelum Veii dan yang lain sampe ke Bandara.
Veii membuka pintu kamarnya. Rumah ini ternyata tidak seluas perkiraan Veii. Ternyata dia ada di lantai atas, di depan Veii ada tangga yang terbuat dari kayu jati, dan sepertinya rumah ini dibuat dengan gaya-gaya zaman dulu, aneh menurut Veii.
Veii turun dengan sangat lambat—saking cemasnya—berharap peri biru di film pinokio benar-benar ada dan membawanya ke rumahnya. Untuk pertama kalinya dia merindukan ruko tempatnya membantu kedua orangtuanya.
Di bawah sudah menunggu beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Veii tak ingin melihat wajah mereka, maka ia putuskan untuk menunduk. Ia berjalan semakin pelan ke arah salah satu kursi yang masih kosong. Lalu duduk di atasnya sambil terus melihat ke bawah.
“Veii kamu yakin mau pakai baju itu?” Tanya sesorang yang Veii yakin sekali mengenal suaranya. Suara yang sudah tak asing lagi, bahkan mungkin sejak dia bayi. Suara ibunya.
“Mom?” kata Veii terpekik kaget lalu menoleh ke arah sumber suara. Sekarang Veii bisa melihat semuanya dengan jelas. Wajah Mom yang putih pucat dan tersenyum kepada Veii, tapi terlihat hendak akan mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Wajah Dad yang terlihat lebih frustasi dari Mom, dan sama sekali tidak tersenyum, hanya memandang Veii dengan pandangan aneh. Lalu wajah Vio yang sedikit berbeda dari yang lain, terlihat lebih bahagia, bahkan tak berhenti tersenyum. Dan wajah Vrans yang kelihatan sekali bingung. Dan di dekat Dad ada om yang tadi masuk kamar Veii dan seorang perempuan beserta dua orang anak laki-laki, yang sangat mirip dengan om-om yang berada di dekat Dad.
“kita dimana Mom?” Tanya Veii lagi menuntut penjelasan.
Mom menceritakan semuanya pada Veii, berita bahwa Mom dan Dad serta om—yang ternyata adalah adik ipar Mom—dan keluarganya harus pergi ke amerika—tempat kelahiran Dad—karena sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dan yang paling tidak dapat diterima Veii adalah, Veii dan Vio tidak dapat ikut mereka ke amerika. Mom juga tidak memberitahu alasannya, tapi ia berkata sangat menyesal karenanya.
“Jadi Veii harus nunggu disini, tanpa siapa-siapa, ngebiarin Mom, Dad, dan Vrans pergi ke Amerika yang Mom sendiri ga akan tau pulang kapan? Mom! Aku belum bisa hidup sendiri! Aku ga bisa Mom! Aku ga bisa! Plis Mom, jangan tinggalin aku!” kata Veii sambil menangis.
“koq nangis sich Veii.? Bukkannya asiik yach.? Jadi kita bisa mandiri tanpa orangtua, lagipula kita kan disini ga sendiri, ups berdua maksud aku . hhe” celetuk Vio tak percaya sambil cekikikan.
“Asik ci? Asik gimana coba? Cici ga ngerasa kita dibuang sama Mom nd Dad? Mom sama Dad ga sayank kita! Mom sama Dad Cuma sayang Vrans! Mom dan Dad jahad! Aku benci kalian!” jawab Veii sambil lari ke atas, ke kamar yang ditidurinya tadi.
“Kita harus gimana Dad?” Terdengar suara Mom sambil terisak-isak. “Veii ga mungkin kita bawa, kondisinya lagi ga pas buad dia dan Vio, tapi kita juga ga bisa tetap tingal disini smentara disana …” mom tak lagi meneruskan kata-katanya, hanya isakannya saja yang semakin keras dan mengisi kesunyian.
Veii terus menangis. Dia merasa sangat terpukul, sangat terbuang, tidak diinginkan, diabaikan. Mom dan Dad tak menginginkan kehadirannya disana. Mom dan Dad membencinya sehingga membuangnya ke tempat ini, tempat yang Veii sendiri tak tau berada dimana. Mom dan Dad egois! Tak pernah memikirkan perasaanya! Veii benci mereka.
“Veii Cuma butuh waktu buat mengerti Mom, kita ga bisa disini terus, pesawat akan berangkat sebentar lagi, sebaiknya kita biarkan Veii menenangkan diri dan pergi, kita akan bisa menghubunginya nanti sesampainya disana” kata Dad setelah sunyi beberapa saat.
*Harusnya Dad tau! Veii ga akan pernah ngerti! Veii Cuma kalian anggap anak kecil dan benalu! Veii ga penting buad Mom dan Dad. Veii ga akan pernah ngerti kenapa Mom dan Dad ninggalin Veii disini! Veii .. vei .. vei benci kalian semua .! pergi ajah sana! Tinggalin ajah Veii! Veii ga butuh orangtua yang ga sayang Veii! Kalo kalian ga suka kehadiran Veii kenapa kalian ga buang Veii ajah ke panti asuhan! Atau ke tong sampah sekalian! Biar kalian puas!* raung Veii dalam hati.
Terdengar suara mobil dinyalakan dari bawah. Veii berlari menuruni tangga dan diam di dekat jendela. Mengintip mobil itu menjauh, setelah Mom dan Dad mengecup pipi Vio dan mengucapkan beberapa nasihat ,, dan Mom tak berhenti menangis, sedangkan Vio, tak berhenti tersenyum. Anak yang aneh, pikir Veii.
Veii baru benar-benar sadar setelah mobil itu berlari menjauh darinya, dan mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat Mom, Dad, dan Vrans. Veii menangis memikirkan kemungkinan itu, seharusnya tadi dia memeluk Mom untuk terakhir kalinya, bukan malah menjauh dari Mom dan menangis setelah Mom pergi. Tapi disisi lain Veii benci Mom, Veii ga mau ketemu Mom, Mom ga bisa ngertiin Veii.
Veii berlari lagi ke kamarnya, dia tidak ingin ditertawakan Vio karena mengintip di balik gordeng seperti maling. Veii berharap kamar ini bukan kamar yang harus ditinggali berdua dengan Vio, bukan karena ia tak ingin berbagi kamar dengan kakanya, tapi ia tak ingin diguyoni seumur hidup karena Vio melihatnya menangis seperti ini.